Tampilkan postingan dengan label penginjil pertama di Minahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penginjil pertama di Minahasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Februari 2013

Mengenal RIEDEL dan SCHWARZ


Foto. Diolah Mimbar.online dari Majalah Waleta Minahasa
 ~ JOHANN FRIEDRICH RIEDEL ~

Lahir di Erfurt Jerman 1798; mulanya sebagai tukang jahit. Pada tahun  1822 (umur 23 tahun) mulai bergabung dengan Zending. Setelah dididik di Jaenicke, berangkat ke tanah Hindia Belanda (23 Nopember 1829). Pada 12 Juni 1831 melalui Ambon tiba di Kema. Sesuadah belajra bahasa makatana beberapa bulan di Manado dibimbing oleh pendeta Hellendoorn, ia mulai berkarya di Tondano sejak 14 Oktober 1831.
Dr. Kruijf menulis bahwa Riedel datang di Tondano yang masih merupakan perkampungan baru bagi orang-orang pindahan dari kampung di atas air tahun 1809 sesudah perang di Danau Tondano (di Minawanua). Belum ada rumah tetap baginya, kecuali rumah yang dipinjamkan pemerintah. Terdapat sebuah gereja kayu kecil, jemaat berjumlah 200 orang. Pada hari minggu hanya sepersepuluhnya yang hadir di gereja. Kebanyakn masih tinggal dalam gubuk di ladang-ladang padi. Kebanyak belum mengerti apa itu hari minggu.


Foto. Diolah Mimbar.online dari Majalah Waleta Minahasa


 ~ JOHANN GOTTLIEB SCHWARZ ~

Lahir di Koningsbergen Jennan, 21 April 1800; mula-mula sebagai tukang sepatu. Pada tahun 1822, bersama-sama dengan Riedel dididik di Jaenicke, lalu pada 1827 keduanya ke Rotterdam.
Pada 23 Nopember 1829 bertolak ke Hindia Belanda dan tiba di Ambon 7 Januari 1832. Setelah belajar bahasa daerah beberapa bulan di Manado, ia diajak pendeta Hellendoorn ke Langowan dan sekitarnya untuk mencari tempat cocok untuk dijadikan pos. Walau memilih Langowan namun untuk sementara waktu harus tinggal di Kakas.
Pada tahun-tahun awal ia mendapat perlawanan dari ulama-ulama (Walian) Alifuru yang diam-diam disokong oleh Mayoor Langowan. Setelah Mayoor tersebut dipecat pemerintah, karya pendeta Schwarz mulai berkembang.  Terlebih setelah pemerintah melarang semua peranan  para walian.

(SUMBER: HB Palar, Wajah Baru Minahasa, Gibbon Foundation)