rubrik

Tampilkan postingan dengan label RENUNGAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RENUNGAN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Agustus 2020

Bumi Tua Merindu Hikmat

www.anchorpointcounselingministry.org

Lihat bumi kita makin tua 
Sebagian penghuninya tak jua dewasa
dalam pikir, kata dan tindak 

Badai problema menuntut solusi 
Kabar bohong datang
menjebak insan dalam lingkaran kecurigaan  
Benih prasangka subur ditabur
di tanah kering bebatuan 
Mencipta perseteruan antar saudara 

Bumi makin tua menanti akhir rahasia Tuhan 
Sebagian penghuninya masih terlena
dalam kapal besar yang tiada abadi 

Pandemi yang menakutkan 
Bagai petir di siang bolong 
Tiada yang datang menolong 
Yang tertindih pandemi 
makin dijauhi 
Bumbu stigma matang digoreng

Bumi tua merindu hikmat 
Para penghuni yang terbuai nikmat dunia 
Berilah setitik hikmat
dalam pikir, kata dan tindak 


 
  






Minggu, 12 Juli 2020

Menanti Hari Penghakiman

ilustrasi || ztfministry.org

Hari itu pasti kan tiba
Entah kapan, tiada yang tahu pasti
Percumalah menduga
Hanya Sang Khalik yang tahu pasti

Hari penghakiman
Hakim Agung kan datang
Mengetuk palu pemisah
Antara yang benar dan yang bebal
Antara domba dan kambing
Di sebelah kiri dan kanan terpisahlah mereka

Duhai insan penghuni bumi,
Jika esok, hari itu tiba
Siapkah engkau menyambutnya?
Jika engkau belum siap,
masih ada kesempatan hari ini

Baharui akal dan nurani
yang masih senang menari dalam kegelapan
menjadi pemancar cahaya kasih
Baharui tutur kata dan perilaku
yang masih senang memusuhi sesama
menjadi sahabat damai sejahtera

Jika esok hari itu belum tiba,
Tetaplah menanti dengan setia
Tetaplah menanti dengan cinta kasih
Tetaplah menanti dalam damai sejahtera
Tetaplah menanti dalam kebaikan
Hingga saaatnya nanti,
hari penghakiman tiba...

(MYT, sajak inspirasi dari matius 25:31-46)

Minggu, 31 Mei 2020

Tentang Kekuatiran

|| godvine.com ||

"|Bagaimana harus bersikap terhadap kekuatiran?|,,
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khawatir atau kuatir diberikan arti: takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Jadi, kuatir itu berhubungan dengan perasaan takut, gelisah atau cemas terhadap hal apa saja yang belum ada kepastian. Kita kuatir akan hari esok tentang hidup yang akan kita lalui yang pasti belum pasti. Belum pasti apakah hujan atau panas, belum pasti apakah ada makan atau tidak, belum pasti bertemu atau tidak bertemu seseorang, dan lain sebagainya.

Terkadang, kita telah melakukan usaha namun hasilnya belum pasti. Misalnya, kalau sakit kita berupaya mengobati namun belum langsung sembuh. Kalau tak ada pendapatan, kita berusaha bekerja tapi hasil kerja kita belum pasti sesuai harapan atau tidak. Hal-hal seperti itu mendatangkan kekuatiran.

Sebuah puisi berjudul "kuatiryang tayang di kompasiana.com 20 April 2020 memberikan gambaran tentang kuatir dan cara menghadapinya.

          [Baca konten puisi di kompasiana.com, klik: "kuatir"

Penggalan bait awal tertulis seperti ini:

Malam ini...
Ragaku tak berdaya....
Nyeri menikam tubuhku...
Nurani insani menjerit...
Alam pikir tak setimbang...
Sesuatu membuatku takut...
Kuatir !!!

Bait ini hendak berkisah tentang contoh dari kekuatiran yang bisa berupa ketiadaberdayaan tubuh manusia karena sakit, yang digambarkan dalam larik puisi: "ragaku tak berdaya, nyeri menikam tubuhku..." Situasi kesakitan membuat kekuatiran dan ketakutan dalam rasa dan pikir dirangkai dalam larik kalimat: "Nurani insani menjerit, alam pikir tak setimbang..."

Bagaimana pengalaman penulis puisi tersebut menghadapi kekuatiran?

Bait selanjutnya berkisah,
Kucoba tenangkan diri

mencari cara hapus rasa ini

Berusaha menenangkan diri dan mencari cara bagaimana menghapus atau menghilangkan rasa kuatir memang merupakan upaya yang umum kita lakukan. Menenangkan diri dengan menarik nafas dalam, menahannya dalam hitungan detik dan kemudian melepaskannya, merupakan salah satu teknik menenangkan diri. Mengalihkan perhatian kita ke hal lainnya misalnya mendengar musik dan melakukan aktivitas fisik merupakan cara yang biasanya kita lakukan dengan maksud tidak memikirkan hal yang mengkhawatirkan tersebut.

Untuk sementara, cara atau teknik itu bisa menenangkan dan mengalihkan perhatian kita. Namun, beberapa saat kemudian, apalagi ketika kita dituntut untuk harus memikirkan hal yang mengkhawatirkan itu, maka kita sadar usaha-usaha kita tak mampu menghilangkan situasi dan perasaan kuatir secara permanen.

Kuatir adalah sesuatu hal yang manusiawi, namun kurang baik jika kita memeliharanya terus menerus. Lalu apa yang disarankan oleh puisi diatas untuk kita lakukan?

 Namun
Tak ada cara yang bisa kutempuh
Selain berdoa, pasrah berserah
Segala asa dan cita
Segala kuatir insani
dalam genggam tanganMu
Tuhan ...

Cara paling utama dan ampuh adalah berdoa dan berserah pada Tuhan. Kuatir memang manusiawi, namun kita adalah manusia dengan segala kekurangan, Kita tak mampu menghadapi semua problema hidup. Yang kita butuh hanya 1, yaitu kuasa dari Tuhan yang dapat kita peroleh dengan berdoa dan pasrah berserah pada otoritas Tuhan. Penuh keyakinan, bukan memaksa Tuhan menuruti kehendak kita.

Alkitab memberikan penegasan soal menyerahkan kekuatiran kepada Tuhan, misalnya dalam 2 nats berikut:

1 Petrus 5:7 (TB)
"Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu."

Mazmur 55:23 (TB)
Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah.

Tunggu apa lagi, serahkanlah segala kekuatiranmu kepada Tuhan dalam doa dan permohonan. Ketika kita menyerahkan dengan ikhlas, berarti kekuatiran itu, bukan milik kita lagi, melainkan milik Tuhan atau dalam kekuasaan Tuhan. Kecuali jika kita tak iklas menyerahkan.....

Tetap semangat jalani hidup. JBU, Ora et Labora.

(MyT)

Rabu, 27 Mei 2020

Mencari Surga, dari Telapak Kaki Ibu, Sampai Agnes Monica

| Ilustrasi || Sumber: wallpaperplay.com |  

Berefleksi tentang surga, saya sempat menulis di Kompasiana.com dalam momentum perayaan Kenaikan Yesus ke Surga Tahun 2020. Saya menulis 2 konten. Konten pertama dalam kategori fiksiana, konten yang kedua dalam kategori humaniora. Berikut saya rewrite kembali 2 konten tersebut, semoga bermanfaat. 
***

Konten fiksi saya beri judul "Kisah Pencarian 1 Surga di 3 Tempat" yang hendak berefleksi dari pengalaman literasi ketika membincangkan tentang surga. Ada yang menyebut surga itu di telapak kaki ibu, surga itu jauh di atas langit dan surga itu ada di bumi. Kisah pencarian reflektif tersebut saya saya tuliskan kembali berikut ini.....

Alkisah ... 
Ada suatu tempat Rumah Bapa bernama surga.  
Surga mulia tempat Sang Khalik bersemayam.
Surga mulia tempat Tuhanku terangkat naik.
Surga mulia disana Roh Kudus turun ke bumi.  
Surga mulia disana banyak tempat disiapkan untuk kita.  
Surga, kesanalah tujuan kekekalan hidup, meski ku tak tahu surga itu persisnya dimana. 

Yang ku tahu surga itu melampaui langit. Langit di atas langit, namun entah dimana pastinya. Sang astronot melintas langit, tak jua menemukannya. Google Maps, Google Search, GPS pun tak bisa memastikan tempat bernama surga.
Ah, andai bisa ....

Lalu, diceritakanlah oleh orang-orang di kolong langit bernama bumi, kata mereka, "surga itu di telapak kaki ibu."
Akupun makin bingung, yang ku tahu surga hanya satu. Jika surga di telapak kaki ibu, mana mungkin Tuhan diam disitu? Terlalu hina untuk Sang Maha Agung. Apakah maksud mereka, ku harus beribu kali mencium telapak kaki ibu, agar kutemukan surga itu?
Bagaimana jika ibu pergi dipanggil duluan mendahului anak-anaknya, haruskah anak-anak mencari ibu tiri atau ibu angkat agar surga ditemukan
Ataukah  telapak kaki ibu, adalah penunjuk jalan ke surga? Jejak-jejak telapak kaki sang ibu yang tulus merawat suami dan anak-anaknya. Entahlah, semoga Ayah tak cemburu karena kakinya bukan tempat surga berada.

Suatu ketika aku diberitahu seorang ekoteolog-feminis, bahwa bumi rumah kami, adalah ibu semesta. Aku berpikir, jika surga di telapak kaki ibu, dan bumi adalah ibu, dimanakah telapak kaki bumi?  Kaki bumi pasti di bawah, yah disana ada tanah memeluk batu berselimut air. Lalu surga itu persisnya dimana?

Kemudian, aku melihat mayat-mayat korban pandemi dikuburkan di dalam galian lobang di dalam tanah, telapak kaki bumi ibu semesta.
Doa dan harap dinaikan mengiringi  penguburan mereka yang menyatu dengan sang bumi. Dalam doa terselip kata supaya mereka diterima di sisi Sang Khalik. Ah, bukankah itu artinya mereka diharap masuk surga? Tapi, kuburan bukan surga, melainkan tempat perhentian sementara bagi yang meninggal, menanti saat penghakiman tiba.

          Suatu malam, kubaca sebuah ayat dari Kitab Suci: 
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk  ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" *)

Akhirnya aku tiba mendekati kesimpulan tentang 1 surga di 3 tempat. Bahwa hanya ada 1 surga nun jauh disana. 2 tempat lain, telapak kaki ibu dan bumi sebagai ibu segala mahluk,  hanya kiasan penuh makna, hanyalah "surga" untuk mencapai surga sesungguhnya, surga mulia!

Tak semua yang bisa tiba di surga sana, jika di "surga bumi" tidak ikut perintahNya. Perintah itu disampaikan lewat putraNya yang menjadi Manusia yang lahir di bumi, menginjak bumi dan membumi. Perintah itu diteruskan Sang Putra Tunggal pada ibu, orang tua dan diteruskan pada keturunannya, turun temurun. Ah, Setiap orang tua (harusnya) menjadi surga bagi anaknya. Ikutilah jejak telapak kaki orang tua, yang adalah jejak langkah menuju surga!

Sesungguhnya surga dapat kita temukan "tiket"nya di bumi, ibu segala mahluk. Sang Putra Tunggal datang ke bumi ke dalam panggung dunia. Tak seorangpun datang pada Bapa di Surga tanpa ikut jalan Sang Putra, Jalan Kebenaran dan Hidup....
          Berlakulah baik dan bijak, damai dan sejahtera selama menginjak bumi jika kita merindu surga mulia

Sang Putra Tunggal lahir hina mulia, hidup berkarya layaknya manusia. Dia menderita, mati, bangkit, memberkati kita melalui murid-muridnya, lalu naik ke surga, menanti kita disana.

***

Konten kedua, saya beri judul: "Ditinggal Kekasih, Agnes Monica Mencari Surga!"
Konten ini terinspirasi dari lagu yang dikidungkan Agnes berjudul Tanpa Kekasihku. Bukan lagu rohani sih, namun penggalan lirik "... dimana letak surga itu," menginspirasi saya untuk menelisik kedalaman lirik lagu tersebut. Apalagi dilantumkan penuh penjiwaan oleh Agnes Mo. 

Berikut lirik lengkap lagu Agnez Mo tersebut.

Langit begitu gelap
Hujan tak juga reda
Ku harus menyaksikan cintaku
Terenggut tak terselamatkan
Ingin ku ulang hari
Ingin ku perbaiki
Kau sangat kubutuhkan
Beraninya kau pergi dan tak kembali

Dimana letak surga itu
Biar ku gantikan tempat mu denganku
Adakah tangga surga itu
Biar ku temukan untuk bersamamu

Ku biarkan senyumku menari di udara
Biar semua tahu
Kematian tak mengakhiri
Cinta...

Ah, cobalah diresapi makna lagu ini, bandingkan dengan refleksi saya di kompasiana.com. Silahkan klik jika berkenan: "Ditinggal Kekasih, Agnes Monica Mencari Surga!"

Akhirnya, rindukah kita akan surga mulia?
===
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk  ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" 
(Matius 7:21)

Salam, Meidy Y. Tinangon

Jumat, 15 Februari 2013

Cara YESUS menaklukan PAULUS




Kisah Para Rasul 26:12-23 ============================================= -23

Nats pembimbing: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”    (Mat 25:40)

==========================================================================================
Ada sebuah kisah tentang Raja Napoleon. Kisahnya begini:
Ketika menjelang akhir hidupnya, Napoleon dibuang ke pulau St. Helena, di tempat pembuangan itu dia melihat sebuah gambar yang digantung di dinding yang melukiskan kesengsaraan Tuhan Yesus Kristus. Segera setelah Napoleon menyimak gambar tersebut dia memanggil pengawal tahanan dan berkata, “... aku dan Alexander Agung, serta penakluk dunia yang lainnya menaklukan bangsa-bangsa dengan kuasa pedang dan penumpahan darah”. Kemudian sambil   menunjukkan tangannya ke arah gambar Kristus di dinding itu dan meneruskan , “namun Orang ini menaklukkan bangsa - bangsa dengan kasih  dan menumpahkan darahnya sendiri....”

Apa yang Paulus alami sungguh cocok dengan kisah Napoleon di atas. Paulus yang merupakan sebelumnya seorang penakluk orang Kristen, seorang yang memusuhi orang Kristen takluk kepada Yesus bukan semata-mata karena cahaya sorgawi yang dahsyat itu, tetapi karena kasih. Betapa tidak, Paulus sang penganiaya itu disapa dengan kasih: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku ?” . Lebih daripada itu, Paulus pun diberi kesempatan menjadi pelayan dan saksi Tuhan Yesus (Kisah 26:16). Inilah kisah kasih perjumpaan Paulus dengan Yesus. Sebuah perjumpaan penghakiman yang penuh kasih sekaligus perjumpaan pertobatan dan pengutusan. Perjumpaan ini juga yang menjadi alat kesaksian Paulus kepada Herodes Agripa.

Bagaimana dengan kita ? Apakah kita telah mengalami perjumpaan itu ? Jika ya, bagaimana respon kita terhadap perjumpaan itu ?

Perjumpaan kita dengan Yesus, mungkin tidak sama persis dengan Paulus. Tetapi berbagai bentuk perjumpaan telah kita alami, dimulai dari ketika orang tua kita mengenal Yesus melalui pekerjaan pekabaran injil Riedel dan Schwarz serta penginjil-penginjil lainnya. Ketika Firman Tuhan kita baca dan dengar dimanapun juga. 

Tetapi juga perjumpaan kita dengan Yesus yang paling nyata adalah melalui perjumpaan kita dengan sesama kita yang oleh Injil Matius disebut sebagai “saudara yang paling hina”. Hal terbaik apa yang kita lakukan bagi mereka yang miskin, yang haus, yang lapar, yang telanjang, yang terpenjara, yang sakit, itulah perlakuan kita kepada Yesus. Itu jugalah bentuk perjumpaan kita dengan Yesus. Itulah kesaksian dan pelayanan kita.  

 Ataukah kita masih seperti “Paulus” yang dahulu yang menganiaya Yesus ? ...Amin (MyT, Terang Tondano Edisi 2)


KONSISTEN BerSAKSI


Kisah Para Rasul 26:1-11

Nats pembimbing: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”(Kisah 1:8)

 Dalam perikop ini, Paulus diberi kesempatan membela diri atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Namun sebenarnya yang dia lakukan bukan sekedar membela kepentingan diri sendiri melainkan membela kebenaran ajaran injil Yesus Kristus. Lebih tepatnya, Paulus sebenarnya bukan “terdakwa”, melainkan sebagai saksi dengan terdakwa adalah ajaran Injil yang dibawa Yesus kedalam dunia. 



Menjadi saksi telah menjadi tugas para rasul sebagaimana kesaksian Kisah Para Rasul 1:8, ketika Yesus berkata: “... Kamu akan menjadi saksiKu... sampai ke ujung bumi”. Hal inilah yang sementara dilakukan Rasul Paulus dalam bacaan ini. Ketika kesaksiannya ditentang,  dia tidak gentar sekalipun harus menghadap penguasa dalam hal ini Herodes Agripa. Justru dalam tantangan dan cercaan, dalam kesulitan, Paulus tetap tenang dan kemudian melahirkan sikap konsisten bersaksi tentang kebenaran Injil Kristus. Tantangan dijadikannya sebagai peluang penginjilan dan kesaksian. Hal mana dapat kita baca dalam perikop ini, bagaimana Paulus dalam pembelaan dan kesaksiannya menyinggung tentang pengharapan akan penggenapan janji Allah dan tentang kebangkitan orang mati. 

Bersaksi bagi Kristus, bukan hanya berarti mengkomunikasikan apa yang didengar dan dilihat, tetapi juga bersaksi melalui perilaku hidup mereka sendiri. Jadi pengertian saksi  dalam konteks kehidupan umat Kristiani lebih luas dari pengertian saksi dalam penggunaannya di pengadilan atau bahkan dalam penggunaan awal di pengadilan Athena, Yunani. Di pengadilan Athena dahulu, bahkan dalam pengadilan modern sekarang ini, seorang saksi  dalam kasus korupsi misalnya, cukup menjelaskan apakah ia mengetahui atau tidak mengetahui bahwa terdakwa korupsi atau tidak. Memberi keterangan saja sudah cukup. Hakim tidak akan bertanya : “apakah anda juga korupsi ?”. Lain halnya bersaksi tentang Kristus, kita bersaksi  tentang penderitaan dan kebangkitannya, tentang kebenaran injil, tetapi juga bersaksi tentang Kristus, langsung ditunjukan dengan penyangkalan diri, pertobatan dan sikap hidup sehari-hari.  Hal inilah yang dimaksud Paulus ketika dia menyinggung masa lalu  hidupnya (ay. 9-11).

Tugas kita sebagai Gereja yang hidup untuk konsisten bersaksi sekalipun dalam tantangan. Bukan mengundurkan diri jika menemui tantangan pelayanan. Justru menjadikan tantangan sebagai peluang dengan  bentuk kesaksian adalah dengan ucapan tetapi juga sikap hidup kita yang konsisten  menunjukan pertobatan dan sikap hidup Kristiani ! Amin    (~MyT~ Terang Tondano ed. 2)