Minggu, 12 Juli 2020

Menanti Hari Penghakiman

ilustrasi || ztfministry.org

Hari itu pasti kan tiba
Entah kapan, tiada yang tahu pasti
Percumalah menduga
Hanya Sang Khalik yang tahu pasti

Hari penghakiman
Hakim Agung kan datang
Mengetuk palu pemisah
Antara yang benar dan yang bebal
Antara domba dan kambing
Di sebelah kiri dan kanan terpisahlah mereka

Duhai insan penghuni bumi,
Jika esok, hari itu tiba
Siapkah engkau menyambutnya?
Jika engkau belum siap,
masih ada kesempatan hari ini

Baharui akal dan nurani
yang masih senang menari dalam kegelapan
menjadi pemancar cahaya kasih
Baharui tutur kata dan perilaku
yang masih senang memusuhi sesama
menjadi sahabat damai sejahtera

Jika esok hari itu belum tiba,
Tetaplah menanti dengan setia
Tetaplah menanti dengan cinta kasih
Tetaplah menanti dalam damai sejahtera
Tetaplah menanti dalam kebaikan
Hingga saaatnya nanti,
hari penghakiman tiba...

(MYT, sajak inspirasi dari matius 25:31-46)

Minggu, 31 Mei 2020

DOA

| "pray" || crosswalk.com |
Bibir komat kamit
Mata menutup rapat
Kepala tunduk tak berdaya
Lutut sujud mencium tanah
Rasa dan pikir melayang ke arah sorga sana singgasana Sang Khalik

Sadar ....
Raga dan jiwa ini ada Yang Punya
Ada Dia yang sanggup bri hidup pun mengambilnya kembali
Yang sanggup 'bri roti puaskan lapar pun air penyembuh haus
Ada Sang Khalik Pengatur Hidup
Yang siap dengar keluh kesah

Tak perlu rayuan
Tak perlu paksaan, apalagi rupiah...
Hanya nurani tulus memohon
Dalam renung khusuk berharap tolongan
Meski tanpa nada tanpa suara
Hanya hati yang bisikan kata
Penuh pinta dan harap...

Ucapkan "Amin" tanda yakin
Untuk sebuah DOA...


(M. Yafeth Tinangon, Tondano, 30 Maret 2018)

**) Telah tayang di www.meidytinangon.com dan kompasiana.com

Tentang Kekuatiran

|| godvine.com ||

"|Bagaimana harus bersikap terhadap kekuatiran?|,,
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khawatir atau kuatir diberikan arti: takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Jadi, kuatir itu berhubungan dengan perasaan takut, gelisah atau cemas terhadap hal apa saja yang belum ada kepastian. Kita kuatir akan hari esok tentang hidup yang akan kita lalui yang pasti belum pasti. Belum pasti apakah hujan atau panas, belum pasti apakah ada makan atau tidak, belum pasti bertemu atau tidak bertemu seseorang, dan lain sebagainya.

Terkadang, kita telah melakukan usaha namun hasilnya belum pasti. Misalnya, kalau sakit kita berupaya mengobati namun belum langsung sembuh. Kalau tak ada pendapatan, kita berusaha bekerja tapi hasil kerja kita belum pasti sesuai harapan atau tidak. Hal-hal seperti itu mendatangkan kekuatiran.

Sebuah puisi berjudul "kuatiryang tayang di kompasiana.com 20 April 2020 memberikan gambaran tentang kuatir dan cara menghadapinya.

          [Baca konten puisi di kompasiana.com, klik: "kuatir"

Penggalan bait awal tertulis seperti ini:

Malam ini...
Ragaku tak berdaya....
Nyeri menikam tubuhku...
Nurani insani menjerit...
Alam pikir tak setimbang...
Sesuatu membuatku takut...
Kuatir !!!

Bait ini hendak berkisah tentang contoh dari kekuatiran yang bisa berupa ketiadaberdayaan tubuh manusia karena sakit, yang digambarkan dalam larik puisi: "ragaku tak berdaya, nyeri menikam tubuhku..." Situasi kesakitan membuat kekuatiran dan ketakutan dalam rasa dan pikir dirangkai dalam larik kalimat: "Nurani insani menjerit, alam pikir tak setimbang..."

Bagaimana pengalaman penulis puisi tersebut menghadapi kekuatiran?

Bait selanjutnya berkisah,
Kucoba tenangkan diri

mencari cara hapus rasa ini

Berusaha menenangkan diri dan mencari cara bagaimana menghapus atau menghilangkan rasa kuatir memang merupakan upaya yang umum kita lakukan. Menenangkan diri dengan menarik nafas dalam, menahannya dalam hitungan detik dan kemudian melepaskannya, merupakan salah satu teknik menenangkan diri. Mengalihkan perhatian kita ke hal lainnya misalnya mendengar musik dan melakukan aktivitas fisik merupakan cara yang biasanya kita lakukan dengan maksud tidak memikirkan hal yang mengkhawatirkan tersebut.

Untuk sementara, cara atau teknik itu bisa menenangkan dan mengalihkan perhatian kita. Namun, beberapa saat kemudian, apalagi ketika kita dituntut untuk harus memikirkan hal yang mengkhawatirkan itu, maka kita sadar usaha-usaha kita tak mampu menghilangkan situasi dan perasaan kuatir secara permanen.

Kuatir adalah sesuatu hal yang manusiawi, namun kurang baik jika kita memeliharanya terus menerus. Lalu apa yang disarankan oleh puisi diatas untuk kita lakukan?

 Namun
Tak ada cara yang bisa kutempuh
Selain berdoa, pasrah berserah
Segala asa dan cita
Segala kuatir insani
dalam genggam tanganMu
Tuhan ...

Cara paling utama dan ampuh adalah berdoa dan berserah pada Tuhan. Kuatir memang manusiawi, namun kita adalah manusia dengan segala kekurangan, Kita tak mampu menghadapi semua problema hidup. Yang kita butuh hanya 1, yaitu kuasa dari Tuhan yang dapat kita peroleh dengan berdoa dan pasrah berserah pada otoritas Tuhan. Penuh keyakinan, bukan memaksa Tuhan menuruti kehendak kita.

Alkitab memberikan penegasan soal menyerahkan kekuatiran kepada Tuhan, misalnya dalam 2 nats berikut:

1 Petrus 5:7 (TB)
"Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu."

Mazmur 55:23 (TB)
Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah.

Tunggu apa lagi, serahkanlah segala kekuatiranmu kepada Tuhan dalam doa dan permohonan. Ketika kita menyerahkan dengan ikhlas, berarti kekuatiran itu, bukan milik kita lagi, melainkan milik Tuhan atau dalam kekuasaan Tuhan. Kecuali jika kita tak iklas menyerahkan.....

Tetap semangat jalani hidup. JBU, Ora et Labora.

(MyT)

Rabu, 27 Mei 2020

Mencari Surga, dari Telapak Kaki Ibu, Sampai Agnes Monica

| Ilustrasi || Sumber: wallpaperplay.com |  

Berefleksi tentang surga, saya sempat menulis di Kompasiana.com dalam momentum perayaan Kenaikan Yesus ke Surga Tahun 2020. Saya menulis 2 konten. Konten pertama dalam kategori fiksiana, konten yang kedua dalam kategori humaniora. Berikut saya rewrite kembali 2 konten tersebut, semoga bermanfaat. 
***

Konten fiksi saya beri judul "Kisah Pencarian 1 Surga di 3 Tempat" yang hendak berefleksi dari pengalaman literasi ketika membincangkan tentang surga. Ada yang menyebut surga itu di telapak kaki ibu, surga itu jauh di atas langit dan surga itu ada di bumi. Kisah pencarian reflektif tersebut saya saya tuliskan kembali berikut ini.....

Alkisah ... 
Ada suatu tempat Rumah Bapa bernama surga.  
Surga mulia tempat Sang Khalik bersemayam.
Surga mulia tempat Tuhanku terangkat naik.
Surga mulia disana Roh Kudus turun ke bumi.  
Surga mulia disana banyak tempat disiapkan untuk kita.  
Surga, kesanalah tujuan kekekalan hidup, meski ku tak tahu surga itu persisnya dimana. 

Yang ku tahu surga itu melampaui langit. Langit di atas langit, namun entah dimana pastinya. Sang astronot melintas langit, tak jua menemukannya. Google Maps, Google Search, GPS pun tak bisa memastikan tempat bernama surga.
Ah, andai bisa ....

Lalu, diceritakanlah oleh orang-orang di kolong langit bernama bumi, kata mereka, "surga itu di telapak kaki ibu."
Akupun makin bingung, yang ku tahu surga hanya satu. Jika surga di telapak kaki ibu, mana mungkin Tuhan diam disitu? Terlalu hina untuk Sang Maha Agung. Apakah maksud mereka, ku harus beribu kali mencium telapak kaki ibu, agar kutemukan surga itu?
Bagaimana jika ibu pergi dipanggil duluan mendahului anak-anaknya, haruskah anak-anak mencari ibu tiri atau ibu angkat agar surga ditemukan
Ataukah  telapak kaki ibu, adalah penunjuk jalan ke surga? Jejak-jejak telapak kaki sang ibu yang tulus merawat suami dan anak-anaknya. Entahlah, semoga Ayah tak cemburu karena kakinya bukan tempat surga berada.

Suatu ketika aku diberitahu seorang ekoteolog-feminis, bahwa bumi rumah kami, adalah ibu semesta. Aku berpikir, jika surga di telapak kaki ibu, dan bumi adalah ibu, dimanakah telapak kaki bumi?  Kaki bumi pasti di bawah, yah disana ada tanah memeluk batu berselimut air. Lalu surga itu persisnya dimana?

Kemudian, aku melihat mayat-mayat korban pandemi dikuburkan di dalam galian lobang di dalam tanah, telapak kaki bumi ibu semesta.
Doa dan harap dinaikan mengiringi  penguburan mereka yang menyatu dengan sang bumi. Dalam doa terselip kata supaya mereka diterima di sisi Sang Khalik. Ah, bukankah itu artinya mereka diharap masuk surga? Tapi, kuburan bukan surga, melainkan tempat perhentian sementara bagi yang meninggal, menanti saat penghakiman tiba.

          Suatu malam, kubaca sebuah ayat dari Kitab Suci: 
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk  ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" *)

Akhirnya aku tiba mendekati kesimpulan tentang 1 surga di 3 tempat. Bahwa hanya ada 1 surga nun jauh disana. 2 tempat lain, telapak kaki ibu dan bumi sebagai ibu segala mahluk,  hanya kiasan penuh makna, hanyalah "surga" untuk mencapai surga sesungguhnya, surga mulia!

Tak semua yang bisa tiba di surga sana, jika di "surga bumi" tidak ikut perintahNya. Perintah itu disampaikan lewat putraNya yang menjadi Manusia yang lahir di bumi, menginjak bumi dan membumi. Perintah itu diteruskan Sang Putra Tunggal pada ibu, orang tua dan diteruskan pada keturunannya, turun temurun. Ah, Setiap orang tua (harusnya) menjadi surga bagi anaknya. Ikutilah jejak telapak kaki orang tua, yang adalah jejak langkah menuju surga!

Sesungguhnya surga dapat kita temukan "tiket"nya di bumi, ibu segala mahluk. Sang Putra Tunggal datang ke bumi ke dalam panggung dunia. Tak seorangpun datang pada Bapa di Surga tanpa ikut jalan Sang Putra, Jalan Kebenaran dan Hidup....
          Berlakulah baik dan bijak, damai dan sejahtera selama menginjak bumi jika kita merindu surga mulia

Sang Putra Tunggal lahir hina mulia, hidup berkarya layaknya manusia. Dia menderita, mati, bangkit, memberkati kita melalui murid-muridnya, lalu naik ke surga, menanti kita disana.

***

Konten kedua, saya beri judul: "Ditinggal Kekasih, Agnes Monica Mencari Surga!"
Konten ini terinspirasi dari lagu yang dikidungkan Agnes berjudul Tanpa Kekasihku. Bukan lagu rohani sih, namun penggalan lirik "... dimana letak surga itu," menginspirasi saya untuk menelisik kedalaman lirik lagu tersebut. Apalagi dilantumkan penuh penjiwaan oleh Agnes Mo. 

Berikut lirik lengkap lagu Agnez Mo tersebut.

Langit begitu gelap
Hujan tak juga reda
Ku harus menyaksikan cintaku
Terenggut tak terselamatkan
Ingin ku ulang hari
Ingin ku perbaiki
Kau sangat kubutuhkan
Beraninya kau pergi dan tak kembali

Dimana letak surga itu
Biar ku gantikan tempat mu denganku
Adakah tangga surga itu
Biar ku temukan untuk bersamamu

Ku biarkan senyumku menari di udara
Biar semua tahu
Kematian tak mengakhiri
Cinta...

Ah, cobalah diresapi makna lagu ini, bandingkan dengan refleksi saya di kompasiana.com. Silahkan klik jika berkenan: "Ditinggal Kekasih, Agnes Monica Mencari Surga!"

Akhirnya, rindukah kita akan surga mulia?
===
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk  ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" 
(Matius 7:21)

Salam, Meidy Y. Tinangon

Minggu, 12 Juni 2016

Ketika Cahaya INJIL terangi Tanah Minahasa


Tanggal 12 Juni 1831 merupahan hari dimana Riedel dan Schwarz menginjakan kaki di tanah Minahasa untuk memulai tugas penginjilan secara berkelanjutan. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen. Meskipun demikian, sebelum mereka, telah ada penginjil lainnya yang memperkenalkan Injil kepada Tou Minahasa

S
ebelum Riedel dan Schwarz datang pada tahun 1831, aktivitas pekabaran injil di tanah Minahasa sebenarnya telah berlangsung, baik oleh pekabar injil Katolik  maupun Protestan. Di kalangan protestan, Sejak abad ke –17, pendeta-pendeta protestan dari Belanda telah bergantian datang ke Minahasa, dalam rangka pelayanan mereka diantara pegawai-pegawai VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), yakni serikat dagang Hindia Timur, yang membeli berbagai komditi pertanian di wilayah yang kita kenal sekarang sebagai Nusantara, termasuk Minahasa. Ada catatan-catatan pendek yang berisi nama-nama para pendeta Belanda itu, akan tetapi kegiatan mereka tidak berkesinambungan, sebab Minahasa pada waktu itu hanyalah sebagai daerah persinggahan bagi para pendeta VOC. Kegiatan penginjilan yang berkesinambungan baru terjadi pada abad ke-19 ketika Johann Friedrich Riedel dan Johann Göttlieb Schwarz mengawali gelombang kedatangan para penginjil dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG).
Riedel dan Schwarz tiba di Manado pada tanggal 12 Juni 1831, tanggal ini dipakai sebagai hari peringatan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa, walaupun Riedel sebenarnya nanti tiba dan menetap di Tondano pada tanggal 14 Oktober 1831. Ketika Riedel datang di Tondano, sudah ada sekitar 100 orang yang mengenal kekristenan. Pdt. Jan Geritt Hellendoorn memperkenalkan jemaat itu kepada Riedel. Mungkin jemaat itu pernah dilayani oleh pendeta-pendeta VOC, yang masuk Minahasa dengan mengambil jalur perjalanan melalui pantai Kora-kora, tetapi dapat juga dianggap sebagai buah-buah pekerjaan pelayanan Injil dari Hellendoorn, yang disebut sebagai “peletak dasar kekristenan di Minahasa”.

Disaat kedatangan Riedel, pengenalan orang Tondano akan kekristenan masih kurang. Banyak orang hidup tidak tertib. Karena itu pula usaha pertama Riedel dalam kegiatan penginjilan adalah  memberi perhatian pada sekolah yang sudah ada. Baginya, keteraturan, kebersihan dan kesopanan dapat diajarkan melalui pendidikan agama. Selain itu dengan topangan istrinya, Riedel mengadakan pendekatan terhadap orang-orang kampung. Ia menerima mereka di rumahnya, mengadakan percakapan dengan mereka mengenai kehidupan sehari-hari dan ia juga mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah. Iapun bertegur sapa dengan orang-orang yang dijumpainya, dan dengan pendekatan itu Riedel mengadakan percakapan dengan penduduk setempat. Setelah keakraban terjalin barulah Riedel mengalihkan perhatian orang-orang Tondano kepada pengajaran Kristen. Siapa yang dilihatnya memberikan perhatian sungguh-sungguh dijadikannya orang-orang inti dalam persekutuan di rumahnya.
Perhatian Riedel terhadap orang-orang sakit juga mempengaruhi penduduk. Walaupun kepercayaan penduduk terhadap kepercayaan lama tidak  segera hilang, lebih khusus kepercayaan akan peran para walian (imam di kalangan orang Minahasa, yang dipandang mempunyai kekuatan magis untuk mengusir roh-roh jahat dan sekaligus  bertindak sebagai dukun), namun semakin banyak orang yang datang ke rumah Riedel untuk mengadakan kebaktian yang diselenggarakannya.
Orang Tondano ternyata menerima pengajaran Kristen yang dibawa oleh Riedel. Selain jumlah mereka yang mengikuti kebaktian semakin banyak, perkembangan di bidang pendidikan  semakin tampak oleh banyaknya anak-anak yang rajin kesekolah. Perhatian penduduk akan kebaktian semakin besar, nyata dari adanya penyelenggaraan ibadah sore, dimana Riedel menyalin khotbah di ibadah pagi ke dalam bahasa daerah setempat. Ini dikenal dengan sebutan “salinan”. Riedel memanfaatkan antusias jemaat akan kekristenan itu dengan menyelenggarakan kelompok belajar Alkitab pada hari Senin dan Kamis malam.
Melalui pendidikan kepada anak-anak maka keteraturan dalam kehidupan masyarakat semakin lama semakin baik. Pengajaranyang disuguhkannya kepada jemaat telah mendorong banyak orang memberi diri dibaptis. Perlu dicatat bahwa, pembaptisan dilakukan setelah para calon baptisan mengikuti pelajaran khusus pada setiap sore. Isi pelajaran yang disampaikan oleh Riedel terutama berisi bimbingan jiwa yang mengarahkan hati seseorang kepada Tuhan.
Hal yang hampir sama juga dilakukan Schwarz di Langowan. Walaupun Schwarz menghadapi para Walian yang pengaruhnya kuat dalam diri anggota  masyarakat, namun adanya sekolah-sekolah yang menjadi sarana pembelajaran kekristenan sangat membantu penerimaan orang Langowan dan sekitarnya terhadap Injil. Hal ini nyata sesudah tiga tahun pelayanan Schwarz ada 4 orang dibabtis, sesudah sembilan tahun bertambah menjadi 300 orang dan lebih dari 1800 orang sesudah 12 tahun.
Pemberian diri Riedel dan Schwarz bagi penyebaran Kabar Baik mengingatkan kita akan kesiapan seorang penginjil untuk mengintegrasikan dirinya di antara penduduk yang didatanginya. Keberhasilan mereka juga karena ada banyak orang Minahasa yang memberi diri menjadi pembantu para zendeling. Mereka semula adalah pemuda-pemuda yang tinggal bersama zendeling dan dididik sebagai guru-guru injil.
Dalam pekabaran injil, pemuliaan akan Tuhan menjadi alasan utama mengapa Riedel dan Schwarz memberi diri keluar dari kaumnya dan berintegrasi dengan orang-orang Minahasa yang jauh dari kampung halamannya. Semangat untuk mengantarkan orang lain mengenal dan memahami kerja penebusan Kristus menjadi motivasi utama dalam diri para zendeling Riedel dan Schwarz. Mereka tidak mendidik orang untuk hanya hidup saleh, melainkan mengantarkan  mereka mau mendengarkan injil untuk percaya pula akan penebusan Kristus. Ini bukan berarti Riedel dan Schwarz tidak mementingkan kesalehan. Persekutuan-persekutuan pembacaan Alkitab yang dilakukan secara intensif menjadi petunjuk adanya pemeliharaan rohani orang-orang Minahasa yang sudah menerima Injil.
Kini, setelah 180 tahun benih injil itu ditebar, menjadi tanggung jawab kita untuk melanjutkan usaha-usaha yang telah dirintis Riedel dan Schwarz serta penginjil lainnya.(*)
===========================

>>> Narasi dari: “Menggali harta terpendam”, terbitan panitia peryaaan HUT –70 GMIM Bersinode. 
>>> Foto direproduksi dari: Majalah Waleta Minahasa edisi 1 tahun I 2010.








Jumat, 15 Februari 2013

Mengenal RIEDEL dan SCHWARZ


Foto. Diolah Mimbar.online dari Majalah Waleta Minahasa
 ~ JOHANN FRIEDRICH RIEDEL ~

Lahir di Erfurt Jerman 1798; mulanya sebagai tukang jahit. Pada tahun  1822 (umur 23 tahun) mulai bergabung dengan Zending. Setelah dididik di Jaenicke, berangkat ke tanah Hindia Belanda (23 Nopember 1829). Pada 12 Juni 1831 melalui Ambon tiba di Kema. Sesuadah belajra bahasa makatana beberapa bulan di Manado dibimbing oleh pendeta Hellendoorn, ia mulai berkarya di Tondano sejak 14 Oktober 1831.
Dr. Kruijf menulis bahwa Riedel datang di Tondano yang masih merupakan perkampungan baru bagi orang-orang pindahan dari kampung di atas air tahun 1809 sesudah perang di Danau Tondano (di Minawanua). Belum ada rumah tetap baginya, kecuali rumah yang dipinjamkan pemerintah. Terdapat sebuah gereja kayu kecil, jemaat berjumlah 200 orang. Pada hari minggu hanya sepersepuluhnya yang hadir di gereja. Kebanyakn masih tinggal dalam gubuk di ladang-ladang padi. Kebanyak belum mengerti apa itu hari minggu.


Foto. Diolah Mimbar.online dari Majalah Waleta Minahasa


 ~ JOHANN GOTTLIEB SCHWARZ ~

Lahir di Koningsbergen Jennan, 21 April 1800; mula-mula sebagai tukang sepatu. Pada tahun 1822, bersama-sama dengan Riedel dididik di Jaenicke, lalu pada 1827 keduanya ke Rotterdam.
Pada 23 Nopember 1829 bertolak ke Hindia Belanda dan tiba di Ambon 7 Januari 1832. Setelah belajar bahasa daerah beberapa bulan di Manado, ia diajak pendeta Hellendoorn ke Langowan dan sekitarnya untuk mencari tempat cocok untuk dijadikan pos. Walau memilih Langowan namun untuk sementara waktu harus tinggal di Kakas.
Pada tahun-tahun awal ia mendapat perlawanan dari ulama-ulama (Walian) Alifuru yang diam-diam disokong oleh Mayoor Langowan. Setelah Mayoor tersebut dipecat pemerintah, karya pendeta Schwarz mulai berkembang.  Terlebih setelah pemerintah melarang semua peranan  para walian.

(SUMBER: HB Palar, Wajah Baru Minahasa, Gibbon Foundation)

GMIM & LINGKUNGAN HIDUP

Logo Kampanye LH GMIM 2012

Dewasa ini, isu dan problematika lingkungan hidup semakin menarik perhatian berbagai pihak. Hal mana sejalan dengan  meningkatnya kesadaran terhadap arti penting pelestarian lingkungan hidup dalam eksistensi manusia dan seluruh ciptaan, juga distimulus oleh fakta-fakta dampak perusakan lingkungan dan ancaman bencana global lingkungan hidup. Dalam konteks global, berbagai isu dan problematika yang mengemuka diantaranya adalah: pemanasan global dan perubahan iklim (global warming and climate change), kemiskinan ekologis, ekonomi dan lingkungan. Dalam konteks lokal, berbagai persoalan juga mengemuka dengan karakteristik yang berbeda sesuai dengan karakter habitat lokal. Sekalipun sifatnya lokal, namun jika diabaikan maka akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan manusia dan masa depan bumi serta ciptaan lainnya secara umum. Karenanya, berbagai problema lokal lingkungan harus diberi perhatian yang lebih serius oleh semua pihak termasuk gereja.

Perspektif ALKITAB tentang LINGKUNGAN HIDUP



Dalam perspektif kristiani, dengan bersumber dari Alkitab, konsern gereja terhadap lingkungan paling tidak dapat dilihat dalam perspektif : perjanjian, penciptaan, penatalayanan dan pembebasan.

A. Motif perjanjian:
“sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala mahluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu............... dan Allah berfirman: “inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala mahluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun temurun, untuk selama-lamanya” (Kej 9:9-12)
B. Motif Penciptaan:
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31a).
“Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya................. Apabila Engkau mengirim Roh-Mu mereka tercipta; dan Engkau membaharui muka bumi” (Mazmur 104:27, 29-30)
“TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1)
C. Motif Penatalayanan
Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara ......................... Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:26-28)
Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej. 2:15)
D. Motif Pembebasan
......tetapi dalam pengharapan, karena mahluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Sebab kita tahu sampai sekarang segala mahluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin (Roma 8:21-22)

Cara YESUS menaklukan PAULUS




Kisah Para Rasul 26:12-23 ============================================= -23

Nats pembimbing: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”    (Mat 25:40)

==========================================================================================
Ada sebuah kisah tentang Raja Napoleon. Kisahnya begini:
Ketika menjelang akhir hidupnya, Napoleon dibuang ke pulau St. Helena, di tempat pembuangan itu dia melihat sebuah gambar yang digantung di dinding yang melukiskan kesengsaraan Tuhan Yesus Kristus. Segera setelah Napoleon menyimak gambar tersebut dia memanggil pengawal tahanan dan berkata, “... aku dan Alexander Agung, serta penakluk dunia yang lainnya menaklukan bangsa-bangsa dengan kuasa pedang dan penumpahan darah”. Kemudian sambil   menunjukkan tangannya ke arah gambar Kristus di dinding itu dan meneruskan , “namun Orang ini menaklukkan bangsa - bangsa dengan kasih  dan menumpahkan darahnya sendiri....”

Apa yang Paulus alami sungguh cocok dengan kisah Napoleon di atas. Paulus yang merupakan sebelumnya seorang penakluk orang Kristen, seorang yang memusuhi orang Kristen takluk kepada Yesus bukan semata-mata karena cahaya sorgawi yang dahsyat itu, tetapi karena kasih. Betapa tidak, Paulus sang penganiaya itu disapa dengan kasih: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku ?” . Lebih daripada itu, Paulus pun diberi kesempatan menjadi pelayan dan saksi Tuhan Yesus (Kisah 26:16). Inilah kisah kasih perjumpaan Paulus dengan Yesus. Sebuah perjumpaan penghakiman yang penuh kasih sekaligus perjumpaan pertobatan dan pengutusan. Perjumpaan ini juga yang menjadi alat kesaksian Paulus kepada Herodes Agripa.

Bagaimana dengan kita ? Apakah kita telah mengalami perjumpaan itu ? Jika ya, bagaimana respon kita terhadap perjumpaan itu ?

Perjumpaan kita dengan Yesus, mungkin tidak sama persis dengan Paulus. Tetapi berbagai bentuk perjumpaan telah kita alami, dimulai dari ketika orang tua kita mengenal Yesus melalui pekerjaan pekabaran injil Riedel dan Schwarz serta penginjil-penginjil lainnya. Ketika Firman Tuhan kita baca dan dengar dimanapun juga. 

Tetapi juga perjumpaan kita dengan Yesus yang paling nyata adalah melalui perjumpaan kita dengan sesama kita yang oleh Injil Matius disebut sebagai “saudara yang paling hina”. Hal terbaik apa yang kita lakukan bagi mereka yang miskin, yang haus, yang lapar, yang telanjang, yang terpenjara, yang sakit, itulah perlakuan kita kepada Yesus. Itu jugalah bentuk perjumpaan kita dengan Yesus. Itulah kesaksian dan pelayanan kita.  

 Ataukah kita masih seperti “Paulus” yang dahulu yang menganiaya Yesus ? ...Amin (MyT, Terang Tondano Edisi 2)